Rencana Impor Dokter Asing: Mencederai Kedaulatan dan Nasionalisme



Penulis : Desembri, SH, MA
(Kandidat Doktor Ilmu Syariah UIN Bukittinggi) 

SAGONEWS.COM - 
Pencopotan Prof. Budi Santoso, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, pasca penolakannya terhadap rencana pemerintah mendatangkan dokter asing ke Indonesia, bagaikan tamparan keras bagi rasa nasionalisme dan kedaulatan bangsa. Kebijakan ini, alih-alih menyelesaikan persoalan kesehatan, justru membuka celah bagi intervensi asing dan melemahkan peran dokter-dokter lokal yang kompeten.

Rencana pemerintah untuk mendatangkan dokter asing, dengan dalih mengatasi kekurangan tenaga kesehatan di beberapa daerah, sungguhlah ironis. Di tengah gempuran modernisasi dan kemajuan teknologi, seharusnya Indonesia fokus pada pengembangan sumber daya manusianya, termasuk di bidang kedokteran. Membangun sistem pendidikan dokter yang berkualitas, meningkatkan kesejahteraan dokter lokal, dan pemerataan akses kesehatan ke seluruh pelosok negeri, jauh lebih solutif daripada sekadar mengimpor tenaga medis dari luar.

Jika dilaksanakan, maka langkah pemerintah ini tak hanya akan melukai rasa nasionalisme para dokter dan tenaga medis lokal, tetapi juga meragukan kedaulatan bangsa. Mengandalkan dokter asing untuk menyelesaikan persoalan kesehatan dalam negeri, menunjukkan ketidakpercayaan diri terhadap kemampuan dokter-dokter Indonesia. Di saat yang sama, kebijakan ini membuka celah bagi intervensi asing dalam sektor kesehatan, yang berpotensi membahayakan kedaulatan dan kemandirian bangsa.

Pencopotan Prof. Budi Santoso bagaikan tamparan keras bagi demokrasi dan nasionalisme Indonesia. Alih-alih membuka ruang dialog dan diskusi konstruktif, tindakan represif ini justru membungkam suara kritis dan memicu ketakutan di kalangan akademisi dan masyarakat sipil.

Sikap anti-kritik pemerintah ini mencerminkan arogansi kekuasaan dan ketidakpercayaan terhadap kompetensi para pakar. Penyingkiran Prof. Budi Santoso, yang dikenal sebagai sosok vokal dan kritis terhadap kebijakan impor dokter asing, menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih menindas suara yang berbeda pendapat daripada mendengarkan masukan berharga untuk kemajuan bangsa.

Di mana letak demokrasi dan kebebasan berekspresi jika suara kritis diberangus? Demokrasi seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keterbukaan terhadap berbagai sudut pandang. Penindasan terhadap Prof. Budi Santoso justru mengantarkan Indonesia ke jurang otoritarianisme, di mana kebebasan berekspresi dan ruang publik yang sehat terancam punah.

Kasus ini menjadi pengingat pahit bahwa demokrasi di Indonesia masih rapuh dan mudah terinjak oleh kekuasaan. Bangsa ini harus bersatu melawan segala bentuk penindasan suara kritis dan memperjuangkan ruang publik yang terbuka dan demokratis. Masa depan bangsa ini bertumpu pada keberanian masyarakat terutama kalangan intekektual untuk menyuarakan kebenaran dan menentang ketidakadilan.

Pemerintah harus segera meninjau kembali keputusan pencopotan Prof. Budi Santoso dan mengembalikannya ke jabatannya. Lebih dari itu, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang inklusif untuk membahas solusi yang lebih komprehensif bagi persoalan kesehatan di Indonesia. Hanya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan menghargai suara kritis, bangsa ini dapat mencapai kemajuan yang sejati.

Seharusnya rencana mendatangkan dokter asing itu tidak perlu lahir, dan pemerintah semestinya fokus pada pengembangan sumber daya manusia di bidang kesehatan. Mendukung nasionalisme dan kedaulatan bangsa bukan hanya tugas para dokter, tetapi juga tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Kita harus bersatu menentang kebijakan yang merugikan bangsa dan memperjuangkan kemandirian di segala bidang.