Tan Malaka Dalam Pandangan Saiful Guci



CTS #58 DARI PENJARA KE PENJARA 

Ciloteh Tanpa Suara-Dapat kiriman buku langka "Dari Penjara ke Penjara Jilid 1 dan 2  karangan Tan Malaka

Jika ada yang menanyakan jalan apa yang paling panjang di Sumatra Barat, kemungkinan besar jawabannya adalah Jl Tan Malaka. Jalan yang menghubungkan Kota Payakumbuh dan Nagari Kototinggi Kecamatan Gunuang Omeh yang membentang sejauh hampir 50 km. 
Jalan provinsi ini ternyata tidak sekadar menyandang nama besar pahlawan tersebut, tapi juga bakal mengarahkan kita menuju kampung halaman Tan Malaka.Nagari Pandam Gadang Kecamatan Gunuang Omeh Kabupaten Limapuluh Kota 

Ada pertanyaan yang timbul dalam pikiran “kenapa ya...Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Provinsi Sumatera Barat serta Pusat belum mengakui kepahlawanan Ibrahim Tan Malaka, padahal Pada bulan Maret 1963 Presiden Soekarno menetapkan Tan Malaka menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan Kepres No. 53 Tahun 1963, dan beliau berhak mendapat penghargaan seperti dalam setiap peringatan pahlawan-pahlawan bangsa.” 

Penulis H. Saiful Guci, SP bersama istri
Hj. Rusmini, S.Pd
 (SUMBER : Facebook Saiful Guci)


Banyak diantara kita yang kurangnya pemahaman sejarah, nama Tan Malaka seringkali ditutupi dan tidak diperkenalkan kepada generasi muda. Bahkan di Ibukota Republik ini tidak dijumpai nama jalan yang bernama “Tan Malaka”. Padahal kalau dipelajari dan diteliti lebih dalam, tidak ada alasan untuk memusuhi nama Tan Malaka. Bukankah yang mengagas Republik ini untuk pertama kalinya adalah almarhum Tan Malaka sendiri, dalam bukunya yang berjudul “naar de republiek indonesische” (Menuju Republik Indonesia) pada tahun 1925. 

*****
Tan Malaka nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka adalah Rajo di Bungo Satangkai  generasi ke-4. Dimana Rajo Bungo Satangkai di wilayah Suliki Pertama adalah Amat Datuk Tan Malaka, kedua Makli Datuak Tan Malaka, Ketiga Abu Tahir Datuak tan Malaka dan generasi ke-4 baru Ibrahim Datuak Tan Malaka.

Ibrahim kecil lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Kecamatan Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. 

Sebagaimana diketahui bahwa almarhum Tan Malaka hilang pada tanggal 19 Februari 1949 saat mempertahankan Republik Indonesia yang terancam dilikuidasi oleh Perjanjian Linggarjati dan Renville menjadi Negara-negara bagian yang didirikan Van Mook dan Van Der Plaas dalam Agresi Belanda ke II.

Riwayat Hidup Ibrahin  Datuak   Tan  Malaka.               
Ibrahim kecil ikut orangtuanya yang bekerja sebagai mantri suntik atau vaksinator di  Tanjung Ampalu Sawahlunto Sijunjung. Ibrahim yang terkenal nakal dan cerdas      direkomendasikan oleh gurunya untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah guru negeri untuk guru-guru Pribumi di Fort de Kock – Bukiitinggi sekarang   yang terdaftar pada tahun 1907.

Di Bukittingi Ibrahim berkenalan dengan budaya negeri penjajahanya. Dia belajar bahasa Belanda. Dia bergabung dengan orkes sekolah sebagai pemaian cello dibawah pimpinan G.H Horensma. Hobi lamanya juga tidak pernah hilang yakni main sepak bola. Ibrahim dipaggil Ipie  yang kemudian hari  Horensman menganggapnya sebagai anaknya sendiri.

Pada tahun 1913 Ibrahim merampungkan ujian teori sebagai guru   di Forf de Kock dan praktek mengajar disekolah rendah pribumi. Horensman menyarankan agar Ibrahim alias Ipie melanjutkan sekolah  ke Belanda. Atas bantuan W.Dominicus. Kontrolir Suliki, pemuka warga mengumpulkan F 50 gulden per bulan untuk biaya sekolah Ipie di Belanda, Rijksweek school.

Ibrahim Tan Malaka` menyertai Horensma ke Kota Haarlem Belanda pada oktober 1913. Ibrahim Tan Malaka tinggal pertama kali di sebuah rumah pemondokan bersama murid Rijkweekschool dan kemudian pindah ke Jacobijnestraat.
Semangat Ibrahim Tan Malaka menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak lepas dari campur tangan G.H Horensman. Dia berhasil meyakinkan Direktur van der Ley bahwa Tan Mala seorang yang pintar dan ccerdas,pemuda ini banyak bakat dan energinya, tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar, “ tutur Van der Ley kepada schoolopziener.

Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya pemahaman politik Tan Malaka adalah tempat berseminya pemahaman politik  Tan Malaka. Dia kerab terlibat diskusi hangat antara teman satu kos, herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diori dari serbuan jerman, dan Van der Mij. Dari diskudi tersebut tan tersadar bahwa duunia tengah bergolak, sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi tan Malaka “ Revolusi.

Tan Malaka meninggalkan Haarlem pada tahun 1916 dan pindah ke Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans. Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka semakin tersadar terhadap penjajah dan dijajah.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada  Oktober 1917 juga memberikan keyakinan pada Tan Malaka bahwa dunia beralih dari ke sosialisme. Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia di bangun berseliweran dalam benak Tan Malaka.

Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Kihajar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. 

Diforum inilah untuk pertamakalinya Tan Malaka membeberakan gagasan yang selama ini bersemayam dalam pikirannya, secara terbuka.

Ibrahim Tan Malaka pulang ke Indonesia pada tahun 1919 dengan cita-cita mengubah nasib bangsa Indonesia. Di Indonesia Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua,memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah, dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia.

Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sagat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu.

Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu,berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda.
Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat enjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia.

Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.

Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Dalam pelariannya selama 20 tahun di luar negeri pada saat yang tepat beliau hadir dan berada di tanah air ikut bersama pemuda mendorong terwujudnya proklamasi 1945 dengan nama Ilyas Husein, tokoh pemuda dari Banten. Pada pertemuannya dengan Presiden Soekarno, Soekarno merasa menemukan persamaan pandangan dan cita-citanya dengan Tan Malaka, sehingga Soekarno pada saat itu mengatakan kepada Tan Malaka “Bila terjadi sesuatu pada diri saya (tewas atau ditahan musuh), maka pimpinan revolusi akan saya serahkan kepada saudara (Tan Malaka).”

Pada bulan Januari 1946, Tan Malaka mensponsori dan mendirikan Persatuan Perjuangan yang beranggotakan parpol-parpol serta laskar-laskar bersenjata berjumlah 141 organisasi yang diikat dengan 7 minimum program. Salah satu dari program tersebut adalah “berunding atas dasar pengakuan kemerdekaan 100%”. Program ini didukung penuh 100% oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan mengatakan “Lebih baik kita di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%.” Menghadapi oposisi Persatuan Perjuangan ini, kabinet Syahrir jatuh dan nyaris tidak terpilih lagi, hanya karena Soekarno-Hatta lah kemudian Syahrir dapat membentuk kabinet lagi. Setelah Syahrir diangkat lagi menjadi perdana menteri, sebelum dia berunding, Tan Malaka ditangkap di Madium dan ditahan selama 2,5 tahun.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik,ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”- Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan ke Indonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.

Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dibebaskan oleh Perdana Menteri M. Hatta. Tapi isu yang berkembang, Tan Malaka dibebaskan Hatta untuk menghadapi Muso yang kemudian terkenal dalam pemberontakan Madium. Terhadap isu tersebut, Tan Malaka mencounter”Seolah-olah mengimbangi PKI Muso itu adalah urusan kami sendiri. Kalau PKI menunjukan kekuatan pada Belanda, maka dengan segala daya upaya akan kami bantu, walaupun bantuan itu tiada diminta kepada kami bahkan meskipun seandainya ditolak.

Dalam hal ini tidak perlulah rasanya kami dikeluarkan dari penjara buat membantunya. Sendirinya kami akan mendapat jalan. Tetapi karena aksi PKI Muso ditujukan pada Pemerintah Republik yang ada sekarang, maka pertama kali urusan dan kewajiban Pemerintah inilah pula membela kekuasaanya (authoritynya). Tak bisa dua kekuasaan tertinggi dalam satu Negara.

Rakyat harus tahu, pemerintah mana yang harus diikutinya. Berhubung dengan inilah, maka Pemerintah yang pertama berkewajiban membela kekuasaannya, walaupun hanya untuk membela diri para anggotanya saja.

Garis politik kami cukup jelas buat kawan dan lawan. Apabila setelah mendapat ujian selama hampir 3 tahun ini. Apabila kami dalam keadaan sunyi-terasing serta sering dalam bahaya dan dikelilingi oleh beberapa kawan seperjuangan saja, tetap memegang garis-bermula; masakan kami sesudah mendapatkan persetujuan dan kawan dari berbagai pihak, akan meninggalkan garis politik yang sudah mengalami ujian itu. Untuk melanjutkan perjuangan kami di atas garis itu tiadalah perlu kami berjualbeli dalam hal politik dan moral.”

Setelah kemudian Tan Malaka menganjurkan berdirinya Partai Murba, tidak lama kemudian Belanda menyerang Yogyakarta dan menangkap Soekarno-Hatta. Tan Malaka memilih tempat bergerilya di Jawa Timur memimpin Gerakan Pembela Proklamasi 45 (GPP) yang kemudian berubah menjadi Gerilya Pembela Proklamasi. Suasana politik di Jawa Timur ketika itu terpecah belah akibat kompromi yang dilancarkan pemerintah, Tan Malaka tidak hanya berhadapan dengan Belanda, tetapi juga dengan NICA, Negara Bagian Jawa Timur bentukan Van der Plaas dan orang-orang Republik yang siap bekerjasama dengan Belanda. 

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Ibrahim Datuak Tan Malaka gugur di bunuh PKI di Selopanggung di Pethok, Kediri, Jawa Timur.Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. 

Saiful Guci, 23 Juni 2024
#tanmalaka #pandamgadang #bapakrepubliek