Cerpen Pinto Janir
"Iduik uni makin susah Pen. Rasa-rasa tak akan sanggup uni menguliahkan si Niar. Dapat makan sehari-hari saja, sudah syukur rasanya itu."
Santi menarik-narik ujung kerudungnya, ketika mengatakan itu pada Pendi. Adik lelakinya itu kini sedang mendapat. Sedang naik naik rezekinya.
Apa saja yang dikerjakan sang adik, menjadi semua.
Benar benar betina pitihnya!
Beberapa rumah mewah dan mobil baru berkilap sudah pula dimiliki Pendi.
Santi berpikir, tak berat bagi adiknya ini untuk melepaskan Santi dari jerat susah kehidupan yang menghimpitnya.
Santi memang sangat berharap adiknya yang berwajah tampan itu iba dan tergerak hendak membantu anaknya Si Niar yang baru saja lulus dengan nilai bagus dan mendapat panggilan sebagai mahasiswa undangan di UGM.
"Bukan saya tidak mau membantu kuliah si Niar, Ni.”
Suara Pendi yang berat, menggantung agak lama. Lelaki itu meraih cangkir berisi kopi kawa yang dihidangkan Santi.
Kopi kawa memang kesukaan Pendi dan Santi tahu benar tentang itu.
Setiap Pendi pulang ke kampung, ia pasti menanyakannya. Kali ini Santi sengaja membawakan adiknya itu kopi kawa serta pisang batu yang digorengnya sendiri sebagai oleh-oleh dari kampung.
“Masalahnya Uni, si Niar masih punya bapak. Uni masih berlaki. Laki uni itu masih kuat mencari. Masih tageh…!"
Santi tertikam mendengar kelanjutan ucapan adiknya. Dr. Pendi, M.A. Eksekutif sukses yang sering lansir Indonesia-Amerika itu, bicara dengan tegas dan sangat logis pada uninya--kakak kandungnya--Santi.
Padahal, jauh-jauh Santi dari kampung, tak sedikitpun ia menyangka akan seperti itu jawaban adiknya ini.
Teringat bagi Santi, betapa pada masa kecil dulu, Pendi begitu sangat dekat dengannya.
Santi terpukul. Perlahan kepala perempuan itu tertunduk. Bahkan lebih dalam dari sebelumnya.
Air matanya jatuh ke dalam!
Ia tak mampu menjawab. Apalagi melanjutkan maksud hatinya, tentang keinginan meminta bantuan supaya si Niar bisa kuliah di Universitas yang layak dan sesuai dengan kecerdasan yang dimiliki anak gadisnya itu.
"Ingat uni. Bukankah Ambo dan Uni sama-sama dikuliahkan oleh Ayah ke sekolah tinggi? Baik Uni ataupun Ambo, dikuliahkan sampai selesai S2. Bahkan, meski sudah berumah tangga, Uni masih juga dibantu beberapa kali untuk modal usaha oleh orang tua kita. Iya kan? Dan itu tidak kecil nilainya, Uni. Ratusan juta. Belum lagi rumah yang diwariskan Ayah untuk uni."
Santi makin terpukul. Ia seperti tidak menyangka bahwa yang di depannya ini adalah adik kandungnya yang notabenenya mamak kontan si Niar.
" Sudahlah uni. Saya juga punya anak dan punya istri. Tak ada kewajiban saya harus membantu si Niar! Anak anak saya juga butuh biaya yang besar.... "
Ucapan Pendi itu meremukkan hati dan meluluhlantakkan harapan Santi.
Entah kemana lagi tempat mengadu.
Ia diam dan terdiam. Ingin lekas lekas ia beranjak dari kursi itu. Ingin ia lekas lekas pergi dari rumah adik kandungnya ini.
Tapi niat itu ia redam. Ia tahan dalam luka luka cukam di hati.
Dalam tangis diam, walau perih ia dengar saja adiknya berkata.
"Kalau kini Uni mau minta bantu pula pada ayah untuk biaya kuliah Niar, coba uni pikir? Apakah itu pantas ? Pantas kah itu Uni? Uni...Jangan Uni bikin susah juga lagi. Ayah kita itu sudah tua. Tidak patut lagi beliau memikirkan anak cucunya walaupun harta beliau mampu saja menguliahkan cucu-cucunya hingga perguruan tinggi.”
Sungguh. Dipojokkan begitu, Santi benar benar remuk dan teremuk.
Tapi mau apa juga lagi. Tangannya sedang di bawah. Nasib sedang tak berpihak kepadanya. Ingin ia menutup kuping rapat-rapat.
Melihat Santi masih saja terdiam, Pendi melanjutkan.
Suaranya datar dan tegas, “Suami uni itu, masih kuat mencari, kan? Masih gagah, Ambo lihat. Sekolahnya juga bukan sekolah rendahan, Uni!" .
Santi makin terpukul. Perasaannya makin nyanyak.
Induk sedih telah menghantam jantung hatinya.
Matanya mengerjap-ngerjap menahan linang yang mulai mendesak.
Kata-kata adik kandungnya itu terngiang-ngiang ngilu di telinga.
Terbayang olehnya sosok sang suami. Seorang suami yang tabah dan tawaqal dalam ketaatannya.
Bila azan bergema, bapak anak-anaknya itu akan meninggalkan apapun aktivitasnya.
Uda Rasyid terlihat bergegas ke masjid. Langkahnya panjang-panjang.
Tiap malam , Santi selalu melihat suaminya khusuk dalam tahajjud dan dzikir yang tiada putus-putusnya.
Siang harinya, Uda Rasyid berhujan berpanas pula ke sana ke mari mengais rezeki.
Dulu Santi sangat bangga dengan kegigihan suaminya.
Tapi mendengar apa yang dipaparkan adiknya, tiba-tiba perasaan benci memenuhi rongga dadanya, hatinya perih.
Ia kini justru berbalik membenci Rasyid.
“Kenapa Uda tak bisa seperti Pendi, Uda? Kenapa nasib uda tak sebaik mereka? Bila uda berhasil seperti yang lainnya, tentu aku tak perlu seperti sekarang ini.”
Santi mengusap air mata yang akhirnya bergulir juga di pipinya.
Apa mau dikata, rezeki mereka baru sebatas cukup. Cukup untuk makan sehari-hari saja.
Niar adalah anak perempuan Santi yang paling besar. Tahun ini ia baru saja menyelesaikan sekolahnya dengan prestasi yang membanggakan dan menjadi mahasiswa undangan di sebuah universitas bergengsi.
Niar tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Bukan cuma itu, anak gadisnya ini juga memiliki watak yang lembut dan sikap yang santun.
Kesolehan anak gadisnya selama ini selalu menjadi buah bibir angku dan andungnya apabila ada tamu yanag berkunjung dan kebetulan bertanya soal Niar.
Sebagai remaja yang tahu dengan untung perasaian orangtuanya, selama ini Niar tak banyak menuntut pada Ibu dan Ayahnya.
Kadang-kadang Niar juga ikut membantu ibunya membuat kue-kue makanan ringan untuk dititipkan di berbagai kedai.
Begitulah cara Santi selama ini, membantu Rasyid dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sebetulnya bukan Santi tak pernah mencoba cara lain untuk berusaha melanjutkan sekolah Niar.
Santi pernah mengurus beberapa beasiswa. Tapi selalu ditolak karena mereka mengenal Santi sebagai anak pemuka dan tokoh masyarakat yang berharta.
Ditambah pula dengan mamak Niar yang sukses dan sangat kaya di rantau.
Orang kampuang tak ada yang percaya kalau kehidupan Santi dan anak-anaknya demikian memprihatinkan. Sehingga, mesti pula ikut mengurus dana bantuan pemerintah untuk melanjutkan sekolah putri sulungnya.
Mereka malah menuduh Santi berolok-olok.
Di kampung tempat tinggal Santi, adat-istiadat masih sangat kuat menjadi panutan hidup masyarakatnya.
"Anak dipangku kamanakan dibimbiang" bukanlah ajaran adat semata, hal ini masih dipakai dalam menjalani hubungan beranak berkemanakan. Santi tak sanggup mengingatkan soal ini pada Pendi adiknya.
Santi sadar, suaminya masih ada.Santi paham bahwa soal anak-anaknya adalah tanggung-jawab suaminya; bukan tanggung-jawab adiknya.
Tapi yang tak ia pahami, mengapa suaminya yang sudah berkuras pagi-petang, belum juga dititipkan Tuhan rejeki yang bisa membuat mereka hidup layak.
Haruskah putrinya tak usah kuliah dulu, sampai mereka benar-benar berezeki?
Bagaimana kalau rezeki itu baru dititipkan Allah sepuluh tahun atau limabelas tahun kemudian?
Haruskah Santi menunggu hingga belasan tahun ke depan, hanya untuk bisa melanjutkan kuliah anaknya?
Seandainya, bila Pendi sedikit berbaik dan bermurah hati, semuanya bisa saja menjadi lebih baik.
"Maaf yo Uni, Pendi indak bisa mambantu uni dalam soal prinsip ini. Anak uni itu tanggung-jawab bapaknya. Bukan tanggung-jawab kami. Termasuk juga uni, bukan tanggung-jawab Pendi lagi kalau Uni masih bersuami. Andaikata suami uni sudah tidak ada atau bercerai dengan Uni, tentu lain lagi masalahnya. Tugas Pendilah yang akan membantu uni dan seluruh anak-anak uni. Tapi maaf, Uni. Tidak sekarang. Mohon Uni memahaminya...."
Santi ingin menguatkan diri. Ia tekan harga dirinya . Ia mengalah pada keakuannya.
" Pendi, kepada siapa lagi Uni hendak bertenggang, kalau bukan kepada adik seorang... "
" Sudahlah Uni. Maaf Uni, ambo indak bisa membantu Uni. Mohon jangan keras keras Uni, terdengar oleh Nia lain pula pendapatnya nanti. Segan ambo, nanti bini ambo itu menganggap keluarga ambo menyusahkan ambo. Jangan sampai rusak pula hubungan berumah tangga kami karena Uni...! "
Ondeh Mak oi. Begitu tajam ucapan Pendi. Santi benar benar runtuh mendengarnya.
Dadanya kian sesak. Ia tahan sekuatnya.
Sementara, usai berkata begitu, Pendi beranjak dari duduknya.
Lelaki itu berjalan meninggalkan Santi yang terpukul menahan duka sendiri.
Ia menatap lekat pada asap kopi kawa yang berkejaran saling pilin memilin dengan asap pisang goreng.
Kesedihannya terhenti melihat Pendi muncul kembali, air muka adiknya sudah lebih santai. Tak lagi serius seperti tadi.
"Uni baru sampai subuh tadi, mana sudah sibuk pula menggoreng pisang dan membuatkan Ambo kopi kawa. Bagusnya Uni istirahat saja di kamar depan. Kamar depan itu dingin. Ac-nya bagus. Tidurlah uni di sana?" Bujuk Pendi, sambil tersenyum lembut di atas luka menganga hati Santi.
Sekilas diusapnya pundak kakak perempuannya itu. Mungkin ia baru menyadari bahwa perempuan yang di depannya ini adalah sedarah dengannya.
Mungkin saja, perubahan diri dan sikap Pendi karena ia takut pada bininya.
" Sabarlah Uni. Ini pelajaran bagi laki Uni. Semoga ia lebih keras berusaha dan jangan pernah merasa bahwa mertuanya yang kaya akan seterusnya membantunya. Hidup itu tidak begitu, Uni. Hidup itu berdiri di atas kaki sendiri ", Pendi memperagakan berdiri tegap seperti seorang tentara.
Makin berderai air mata Santi. Tapi jatuhnya tak lagi menelusuri pipinya yang tirus, melainkan deras jatuh ke dalam hatinya yang terasa remuk-redam.
" Sekarang tidurlah uni di kamar yang berase itu", Pendi menunjuk ke arah kamar.
Namun, sedingin apapun kamar yang ditawarkan adiknya itu untuk istirahat, tetap tak akan pernah bisa menyejukkannya karena ia lebih khawatir saat terbayang Niar sang anak yang tentu saja menantinya dengan penuh harapan mendapat bantuan sang mamak satu-satunya.....
"Pendi...", Santi berupaya menguat nguatkan diri.
“Ya, Ni ? ” Jawab Adiknya.
“ Uni harus pulang hari ini juga. Uni sudah janji dengan anak-anak."
“Lho, apa Uni ndak cape?”
“Uni sudah biasa, Pen.”
"Kalau hati uni keras juga, baiklah. Sebentar, Pendi pesan saja taksi untuk menjemput kemari."
Astaga. Sedikitpun tak ada basa basi Pendi untuk menahan uninya. Padahal kakak perempuannya itu baru datang. Baru tiba di Jakarta.
Santi makin tercekat kelat.
"Tak usah sibuk-sibuk Dik", Santi menahan apa yang menyesak dadanya. Mau pecah rasanya dada itu.
"Biar Uni cari saja taksi di depan gang Tampaknya masih banyak yang ngetem di sana.Sekali lagi, Uni dan uda menyampaikan banyak terimakasih."
“Kalau gitu, Pendi berangkat kerja dulu, Uni. Karena harus memimpin rapat.”
“Iya, Dik. Jangan sampai terlambat.”
Santi berusaha mendatar datarkan ucapannya, seolah olah tak pernah terjadi apa apa sekalipun badai sedang menghantam dadanya.
Pendi mengangguk-angguk. Sebentar kemudian, ia panggil supirnya untuk memberi aba-aba segera mengantarkannya ke kantornya di kawasan Sudirman itu.
======
" Kok bunda pulangnya cepat? Jadi jumpa kan dengan Om Pendi? Apa kata Om Pendi, Bun? Om Pendi mau kan membantu Niar? "
Sungguh. Lagi lagi harapan Niar menghancurkan ruang rasa Santi. Tapi ia berupaya keras menyurukkan apa yang terjadi . Ia tak ingin, Niar ikut terhempas.
Santi menjawab pertanyaan Niar dengan senyum di balik luka yang paling tersembunyi.
" Bagaimana, Bun? ",
Niar mencium tangan Santi seraya membantu menarik kopor kecil yang baru saja turun dari sebuah travel yang mengantarkannya dari Bandara International Minangkabau.
" Ayo Bun... Gimana Bun. Apo Om Pendi mau membantu kita? " , Niar mengguncang guncang tubuh Santi.
Santi tetap menjawab dengan senyum walau sebenarnya sulit menahan rasa sedihnya.
Tapi, ia harus menjawabnya....
Belum sempat, Santi menjawab pertanyaan Niar, handphonenya berdering.
Ternyata dari Rita teman sama SMAnya yang kini buka travel.
Kemarin Santi membooking tiket pesawat dengan Rita dan belum sempat dibayar.
Santi menjanjikan akan membayar tiket itu sekembalinya dari Jakarta, setelah ia dapat bantuan dari Pendi. Itu disepakati Rita.
"Santi, tolong besok ditransfer duit tiketnya, ya."
"Rit, kalau tiga hari lagi bagaimana? "
"Nggak apa-apa, San. Aku tadi Cuma mengingatkan saja", jawab Rita.
Santi lega mendengar jawaban sahabatnya itu.
Santi tadinya memang berharap akan dibantu sedikit duit oleh Pendi.
Tapi, ternyata Pendi tidak melakukan apa yang dipikirkannya.
Ya, sudahlah.
"Bu, apa kata Om Pendi?" Niar menghempaskan diri, di samping Santi yang duduk bersandar di kursi ruang tamu mereka.
"Baik...Om Pendi bangga pada Niar. Om berpesan supaya Niar rajin-rajin belajar. Soal kuliah, tak usah Niar yang pikirkan."
Santi berbohong. Ia tak ingin anaknya membenci mamaknya. Bagaimanapun juga, Pendi adalah mamak kontan satu satunya dari Pendi.
" Pokoknya, soal kuliah Niar, aman.... "
Langsung Niar memeluk sang Bunda. Sementara, dada Santi sesak. Sebenarnya ia tak tahu dari mana uang pembayar biaya kuliah Niar. Termasuk ongkos untuk keberangkatan ke Yogyakarta. Ke UGM itu.
Ia hanya pasrah dan berserah diri pada Allah.
Wajah Niar berbinar-binar. Ia guncang-guncang bahagia tubuh ibunya.
"Jadi....Om Pendi bersedia membantu kita ya, Bu?" Niar tersenyum.
Sekali lagi, ia tak mau nama adiknya rusak di hati kemenakannya sendiri.
Selama ini Santi terlalu sering membangga-banggakan adik laki-lakinya ini ke anak-anaknya bahkan ke orang kampungnya.
"Contohlah Ommu itu. Santun. Murah hati. Suka membantu dan sangat peduli pada dunsanak", kalimat macam ini sudah lama ia tanamkan ke anak-anaknya.
Lain Halnya dengan Rasyid, Suami Santi ini pun seperti berpantang pula bertanya-tanya kepada istrinya.
Ia tampaknya sudah pasrah pula. Walau dalam hati , ia tetap bertekad untuk terus berusaha sekuat tenaga demi menguliahkan dan menyekolahkan anak-anaknya.
Terkadang pikirannya menerawang ke kampung halamannya.
Terbayang olehnya beberapa tumpak tanah kaumnya. Pernah terniat pula di hatinya untuk menggadaikan sawah pusaka kaumnya itu untuk biaya kuliah Niar.
Di kampungnya, Rasyid adalah mamak kepala warih yang menghitamputihkan tanah pusaka.
"Tak baik tanah pusaka milik kaum nan angku gadaikan untuk biaya kuliah anak angku. Dicibirkan orang sekampung angku nanti,” ucap salah seorang kerabatnya ketika Rasyid mengutarakan niatnya itu.
“Belum pernah di kampung ini kita mendengar seorang mamak menggadaikan harta pusaka tinggi untuk biaya kuliah anaknya.Tak ada itu. Yang ada adalah seorang mamak menggadaikan harta pusaka tinggi karena kamanakannya tak berlaki. Karena rumah gadangnya ketirisan. Karena mayat terbujur di atas rumah gadang, tak ada biaya merpehelat kamanakan...itu baru bisa" , kata kerabatnya itu.
Rasyid terhenyak!
“Kamanakan tanggung-jawab mamak. Anak angku kan adoh mamaknyo, mengapa pula angku madok ke tanah pusaka kaum angku?" Datuk Tan Jelo Menatap penuh heran pada Rasyid. Suami Santi itu memalingkan wajahnya. Ia tak berani beradu pandang dengan sang datuk.
Rasyid menatap loteng rumahnya dengan pandangan yang dalam, itu yang dilihat Santi saat beranjak ke dapur hendak meletakkan bekas minum suaminya itu.
"Mengapa Uda termenung?" tiba-tiba Santi mengejutkan lamunan Rasyid.
Rasyid tersenyum. Diambilnya Alqur'an, ia jawab pertanyaan sang istri dengan membaca ayat Yassin.
====
Pagi bersinar bagus di atas kota Payakumbuh.
Hari ini, ada acara selamatan di rumah Santi.
Untuk kesekian kalinya orangtua Santi hendak menunaikan ibadah Umroh .
Orang kampung banyak hadir.
Semua larut dalam bahagia. Karena, dalam acara itu, selain mengundang orang-orang siak, orangtua Santi juga mengundang ratusan anak yatim.
Pulangnya, anak-anak yatim yang diundang juga dibekali dengan sedikit uang saku yang mereka taruh dalam amplop.
Dan yang ditugaskan membagikan amplop oleh Amaknya itu adalah Santi, sebagai anak perempuan yang paling besar di rumah megah milik ayah Santi.
Tiap Santi membagikan, terasa olehnya andai saja sebagian kecil dari uang ini diberikan padanya, tentu akan selesai masalah uang masuk kuliah bagi anaknya sebagai salah satu mahasiswa undangan di UGM.
Tapi Santi membuang pikiran itu jauh-jauh. Terlalu egois kalau ia memikirkan itu.
Santi berfikir, sekiranya amak dan ayahnya urung berangkat umroh, dapat dipastikan, masalah kuliah anaknya akan selesai sampai tuntas dengan uang sebanyak itu.
Santi berdiam diri sambil tangannya terus saja membagi-bagikan amplop berisi uang, ke setiap anak yatim yang mendatanginya.
Tapi tak bisa ia sembunyikan rasa.Rasa itu.Rasa di mana tiap ia serahkan amplop-amplop itu, tiap itu pula ia terus terbayang pada anaknya Niar.
Air matanya jatuh tanpa sengaja…
Ah.., sekiranya Niar anak yatim, tentu selamat pula kuliahnya. Tentu amak dan ayah Santi serta adik laki-lakinya yang mamak Niar akan bergegas membantu mereka.
Santi tiba-tiba kesal. Ia jadi geram sendiri.Emosinya berkecamuk. Tapi tak tahu, kepada siapa kegusaran itu ia hadapkan.
Yang ia tahu, ia jadi menyesal. Tapi juga tak tahu, kepada siapa sesalan ia hempaskan?
Apakah kepada suaminya?Kepada kedua orangtuanya, atau kepada adiknya?
Harusnya, Santi tak perlu marah sendiri, sesal sendiri.Tak perlu.
Mengapa ia harus marah sendiri kalau orang-orang yang sangat ia sayangi dan ia harap harapkannenggan membantunya?
Tak adil pula rasanya menyalahi mereka.
Tapi menyalahi suaminya, Santi juga tak sampai hati karena ia melihat sang suami sudah berkuras mati-matian untuk mencari pitih.
Namun, nasib yang agaknya belum berpihak pada mereka.
Haruskah…atau haruskah Santi minta cerai dulu pada suaminya demi kemurahan hati orang-orang terdekat supaya sudi membantu kuliah Niar?
Apakah aku harus minta cerai saja dari suamiku, biar bisa memperoleh bantuan dari adik dan orangtuaku? Pikir Santi.
Pikirannya makin kalut. Dengan hati membatu Santi mulai berpikir dan berdoa, supaya Tuhan mempersingkat saja usia suaminya.
Mungkin dengan begitu dia dan anak-anaknya bisa mendapat bantuan yang kini memang sangat diharap-harapkannya.
Astaghfirullah Al’azim, Santi berucap sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya.
Dada perempuan itu berdegup kencang. Makin kencang. Makin keras. Di tengah keramaian, tubuhnya hoyong.
Ia lihat dunia bagai berputar kencang, mengecil dan kian kecil.
Lalu ia roboh tak sadarkan diri. Niar yang melihat bagaimana tubuh ibunya terkulai di lantai marmer berkilap di teras rumahnya , terpekik: "Bundaaaaaaaaa..!"
Para tamu terperanjat melihat tubuh Santi terkapar dan dingin.
Saat tubuhnya digotong beramai-ramai, kemudian diletakkan di ruang tengah yang dilapisi karpet tebal dari Turki itu, sebutir air mata Santi jatuh di sudut matanya.
Tubuh perempuan itu perlahan membeku.
Nafasnya terdaguk. Lalu diam. Matanya terpenjam.
Orang orang melafaskan Innalillahi wa inna ilaihi roji'un....
Santi pergi selama lamanya membawa luka dan harapan yang dalam. Namun, wajah beku itu tampaknya, seperti berupaya untuk tersenyum.
Niar mengguncang guncang tubuh sang Bunda.
" Bangun Bunda.... Bangun Bunda....! ".
Acara selamatan keberangkatan orangtua Santi menuju ke tanah suci itu seakan berganti menjadi acara "melepas" Santi ke kampung halaman abadi....
****
Pada hari ketujuh setelah kematian Santi, orangtuanya tetap berangkat umroh. Tak bisa di batalkan karena semua sudah terjadual dan yang sudah meninggal juga tak mungkin akan hidup kembali.
Pendi dan keluarganya juga pulang ke Payakumbuh.
Ia tak sempat pulang saat kakaknya itu meninggal karena sedang bertugas di Newyork.
Pendi berziarah ke makam Santi ditemani Niar dan Rasyid.
Saat hendak beranjak, Pendi mendekati Rasyid yang masih saja berjongkok di depan makam istrinya.
"Uda tak boleh sedih terlalu lama. Anak-anak uda butuh biaya. Niar mau masuk kuliah pula lagi. Lebih aktiflah uda mencari duit. Anak-anak adalah tanggung-jawab ayahnya, Uda. Tanggung jawab Uda. Selagi masih ada Uda, itu belum menjadi tanggungjawab kami", Pendi berbisik pelan kepada suami almarhum kakaknya itu.
Rasyid hanya tersenyum kecut, seraya menjawab : "Insya Allah!".
"Oh iya, Uda. Selagi uda masih belum mencari pengganti Uni, Uda masih boleh tinggal di rumah kami ini,” Pendi berkata pelan.
Rasyid memejamkan matanya, mendengar itu.
Mulutnya kian cepat bergumam melafazkan zikir dan semua doa yang mampu diingatnya.
Lelaki itu merasakan tubuhnya mengambang.
Hatinya berkata kata...
"Ya Allah, kuatkan aku. Apapun yang terjadi, jangan engkau ambil dulu nyawaku, sebelum Niar mampu menyelesaikan kuliahnya! Ya Allah, andaikan boleh hamba bertanya, mengapa bukan hamba saja yang Engkau matikan lebih dulu, mengapa harus istri hamba? Kalaulah aku yang mati lebih dulu, tentulah anak-anakku Niar dan adik-adiknya akan dapat melanjutkan kuliah dan sekolah mereka karena mamak dan datuk mereka akan dengan senang hati membantunya."
Rasyid menundukkan kepalanya dalam-dalam.Ia sembunyikan tangis yang paling keras itu di balik dadanya yang buncah dan mau rarak rasanya.
Sekuat tenaga, tangis ditahannya agar tak bersuara dan tak berbunyi.
Ia tak ingin, Santi yang kini kuburnya masih sirah itu mendengar tangisnya.
“Tenanglah di sana, istriku. Jangan pernah menyesali takdir kita, karena Tuhan selalu punya maksud pada setiap jalan kehidupan umatnya. Istirahatlah sayangku, kekasihku. Aku akan tetap di jalan yang sudah kita pilih berdua, menadahkan tangan hanya pada Tuhan, tidak pada makhluk", dalam hati ia lafaskan doa.
Sekuntum kamboja putih luruh dari pohonnya yang tinggi yang melindungi makam istrinya, jatuh di tanah yang sirah itu.
Rasyid tersenyum, seolah membaca itu sebagai pertanda kalau istrinya mengerti.
Hanya pada Tuhanlah kita bisa mengadu tanpa mesti menanggung malu. Karena Tuhanlah yang paling tahu bahwa tak semua hati umatnya adalah batu.
Rasyid memeluk Niar.
“Doakan ibumu,Nak!”
“Ayah, jangan tinggalkan kami.Jangan pergi.Biarlah Niar tak kuliah asal bisa merawat ayah dan kita tetap bersama-sama dalam sekuat apapun duka dan kemiskinan ini !”
Rasyid makin terpukul!
Sementara Pendi sudah lebih dulu meninggalkan makam adiknya.
Ia tergesa-gesa !
Padang 7 Juni 2016