Dr. Asep Ajidin, S.Pd.I., M.H. Dosen STIH Putri Maharaja Payakumbuh dan Pengurus PGRI Propinsi Sumatera Barat |
Opini, SagoNews.com ~
Kalau kita ditanya, adakah manusia yang tidak berkomunikasi, jawabannya, tidak ada. Komunikasi dilakukan secara verbal dan non-verbal, dengan menggunakan tanda atau simbol. Seperti yang dijelaskan Aam Amirudin (2009: 5) tentang pendapat para pakar komunikasi bahwa manusia itu homo communicus, yaitu makhluk yang senantiasa komunikasi. Mengapa manusia harus berkomunikasi? Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa tidak harus terkait dengan lingkungan di sekitarnya.
Secara garis besar, komunikasi terbagi kepada dua bagian, yaitu komunikasi antarmanusia yang biasa disebut interpersonal communication, dan komunikasi manusia dengan Tuhan atau transcendental communication. Komunikasi sebagai syarat bersosialisasi memiliki inti, yaitu persepsi. Maksudnya, melalui komunikasi manusia melakukan proses internal dengan memilih, mengevaluasi, mengorganisasi, dan menafsirkan rangsangan dari sekitarnya.
Dalam khazanah ilmu komunikasi yang melingkupi kehidupan manusia, komunikasi itu dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu komunikasi massa, komunikasi kelompok, dan komunikasi antarpersona, serta komunikasi transendental. Untuk tiga kelompok pertama tentunya sering sekali kita simak pembahasannya, baik di media cetak, seminar, bahkan di bangku sekolah dan perkuliahan. Sementara komunikasi transendental masih sangat terbatas dibicarakan. Secara sederhananya, komunikasi transendental dapat dimaknai sebagai komunikasi antara manusia dengan Tuhan atau kita mengenalnya dengan doa dan karenanya komunikasi ini masuk dalam kelompok pembahasan agama.
Berbicara mengenai tanda dan simbol sebagai salah satu elemen komunikasi non-verbal, dalam komunikasi antara manusia dengan penciptanya, Allah swt telah begitu banyak menebarkan ayat-ayat, - baik quraniyah maupun kauniyah untuk direspon oleh hamba-Nya. Dalam Al-Qur'an, sangat jelas digambarkan perintah yang harus diikuti serta larangan yang mesti dijauhi. Bila ingin disebut sebagai komunikasi yang baik dalam komunikasi transendental, kita harus mampu mempersepsikan secara akurat tanda dan simbol yang digariskan Allah swt dalam Al-Qur'an.
Melengkapi tanda dan simbol tekstual dalam Al-Qur'an, Allah swt menghamparkan dunia dan alam raya untuk ditafakuri sebagaimana tergambar dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum (30): 20-24. Menafakuri ayat-ayat kauniyah akan melahirkan sebuah pengakuan akan kemahakuasaan dan kemahaperkasaan Allah swt sehingga menambah rasa cinta untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Kesalahan mempersepsi tanda dan simbol-Nya berakibat sangat fatal, yaitu neraka. Namun demikian, banyak diantara manusia yang mengabaikannya. Hal itu Allah swt jelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-A'raaf (7) ayat 179:"
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai."
Kalau Allah swt memiliki Al-Qur'an dalam alam semesta untuk dikomunikasikan kepada hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan jalan untuk mengomunikasikan keinginannya dalam bentuk doa.
Keberhasilan komunikasi dengan Allah swt - sebagaimana keberhasilan komunikasi antarmanusia - juga ditentukan oleh ketepatan persepsi kita sendiri. Secara eksplisit, untuk membangun persepsi positif Allah swt kepada kita, maka manusia mesti mengikuti pernyataan Allah swt dalam Al-Qur'an Surat Adz-Dzaariyat (51) ayat 56:"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Lalu, bagaimana Allah swt harus mempersepsikan komunikasi - doa - yang kita sampaikan sebagai bentuk komunikasi transendental? Tentu saja Allah swt tidak akan keliru mempersepsikannya, yaitu dengan pengabulan atas doa-doa kita. Jika pun kalau doa kita belum terkabul, itu karena Allah menangguhkan atau menggantikannya dengan yang lebih baik. Semua itu untuk kebaikan hamba-Nya. Hanya kita terkadang yang terburu menghujat bahwa Allah swt tidak menyayangi kita. Na'udzubillahi min dzalik !