Penulis Weriantoni, SE, M.Sc |
SagoNews.com - Haus dan lapar menahun dari perkembangan usaha, merupakan salah satu gejala sakit pada pelaku usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Usaha yang nyaris jalan ditempat, termasuk terbatasnya akses pasar membuat UMKM sekarat dalam bentuk gizi buruk (stunting).
Lalu dengan apa diobati penyakit stunting pada pelaku UMKM tersebut, sehingga mereka mampu maju dan naik kelas?
Jawabannya ternyata bukan pada bantuan permodalan dari pemerintah atau pun pihak lainnya, karena ternyata bantuan yang jumlahnya sedikit - sedikit itu, malah menina bobokkan pelaku UMKM dari sesuatu yang lebih besar daripada permodalan, suntikan dana hutang bank mau pun Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang di bawah atau sama dengan Rp. 50 juta.
Bukan pula pada program pelatihan - pelatihan, karena masalah yang ada di lapangan adalah, pertama tidak sesuainya materi pelatihan dengan kebutuhan sebuah UMKM itu sendiri. Misalnya anak muda modern (millenial) saat ini, yang telah memulai basis bisnisnya dari online, tidak akan efektif jika diajak pameran - pameran, apalagi skala lokal. Mereka cocoknya diberi pelatihan digital marketing, fb ads, ig ads, google ads dan lain sebagainya.
Begitu juga sebaliknya, bapak - bapak yang telah merintis bisnisnya puluhan tahun dengan cara memasukkan produk ke pusat oleh - oleh, ke kedai - kedai dan gerai atau semacamnya (canvasing). Akan sangat lamban dan bahkan menolak, jika diberi pelatihan digital marketing, fb ads, ig ads dan sejenisnya itu. Karena bagi mereka jelas titip jual lebih berarti daripada mengeluarkan modal untuk dunia maya.
Tesis dan antitesis semacam itu, merupakan contoh simpang siurnya antara program di dinas koperasi, perdagangan dan UMKM dengan kebutuhan UMKM sesungguhnya. Selain permodalan yang sedikit - sedikit, pelatihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan terakhir satu hal yang akan membuat UMKM menderita stunting adalah, tingkat kedekatan dengan pemerintah atau dinas itu sendiri.
Maksudnya, keterbatasan dinas dan pejabat pemerintah untuk dekat dengan pelaku UMKM yang jumlahnya begitu banyak, pada sebuah daerah tingkat II jumlah UMKM nya lebih dari 1.000 orang (data di dinas UMKM Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatra Barat menunjukkan angka 1.900 lebih - red). Merupakan sebuah keniscayaan jika semuanya terayomi dengan baik, akan ada sekat - sekat antara UMKM yang dekat dengan dinas dan yang tidak.
Padahal sebenarnya tujuan dari pelaku UMKM sendiri adalah bagaimana bisa menaikkan omset, profit dan asset. Mereka tidak boleh dilemahkan oleh hal - hal diatas tadi. Pertama, terbatasnya permodalan. Kedua, pelatihan yang tidak cocok dan yang ketiga, ketimpangan kedekatan dengan dinas dan pemerintah. Solusi sebenarnya, menurut penulis adalah memalui program "Bela Beli."
UMKM - UMKM kita harus dibantu (support) dengan membeli produk - produk mereka, jika produknya sudah laris maka mereka akan semangat untuk produksi, terus giat menjaga pelanggan dan bisa berkembang, maju hingga naik kelas. Kepada Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai swasta, BUMN dan lain - lain yang bergaji tetap, jika ingin UMKM maju maka belilah produk mereka. Beli dulu, beli lagi, beli terus...
• Study kasus stunting pada UMKM yang mendapatkan pelatihan yang sedikit
• Study kasus stunting pada UMKM yang mendapatkan bantuan dana sedikit
Analisa perkembangan UMKM
• UMKM yang jumlahnya semakin banyak itu, justru tidak baik juga untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Penulis :
- Weriantoni, SE, M.Sc
- Fadli Riansyah ( Redaksi )
TERBIT 20 Oktober 2023