Jorong Lubuak Limpato, Harau bersama Aay Bay dan Masyarakat setempat |
Limapuluh Kota, SagoNews.com - Risih melihat pengelolaan pariwisata di Kabupaten Limapuluh Kota yang tidak profesional, membuat tokoh masyarakat yang peduli dengan kemajuan daerah itu angkat bicara. Terutama, pengelolaan di Lembah Harau, sebagai objek wisata utama.
Menurut Aay Bay dan Kepala Jorong Lubuak Limpato, Azilmar kepada media ini, belum terlihat kinerja serius dari kepala daerah Limapuluh Kota yang sudah menjabat hampir 2 bulan tersebut. Sekolah Insan Cendikia Boarding School (ICBS) masih belum jelas perizinan dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungannya (AMDAL).
"Belum jelas tata ruang dan tata kelola pariwisata pada periode saat ini, seharusnya mampu memanfaatkan potensi putra daerah dan anak nagari untuk mengelola objek wisata," sebutnya.
Mereka juga mengatakan, "jangan ujuk - ujuk bicara investor, loby sana - sini. Sedangkan dapur sendiri belum dibenahi, penanganan pariwisata memang harus cepat. Tapi juga harus tepat, akurat dan terukur sesuai kehendak rakyat. Bupati dan wakil bupati memang sudah merasakan kemenangan, namun rakyat sebagai pemilik kedaulatan jangan sampai dilupakan," ucapnya, Senin sore (05/04).
Secara spesifik, mereka mengatakan pengelolaan Lembah Harau yang masih amburadul. Pertama, pemungutan tiket yang begitu banyak. "Awalnya di gerbang yang terletak di kawasan Medan Bapaneh Tarantang, kemudian di dekat kampung Sarosah ( baca : kampung eropa, jepang dan korea ). Selain itu, juga ada beberapa pungutan parkir liar di seluruh spot wisata Lembah Harau," sebutnya.
Aay Bay dan Azil Jorong meminta Pemda agar dapat menertibkan persoalan tiket di Lembah Harau itu, "di depan (Tarantang) sudah diminta Rp. 5ribu, di dalam (Kampung Sarosah) diminta lagi Rp. 40ribu per orang. Termasuk pungutan parkir yang tidak jelas bagaimana aturannya dan bahkan pungutan liar setiap hari terjadi digerbang masuk itu," tegasnya.
Kemudian persoalan kearifan lokal, menurut Aay Bay, Azil dan beberapa masyarakat setempat yang tidak mau ditulis namanya mengatakan, "sama sekali pengunjung tidak menemukan bentuk kearifan lokal di Kampung Sarosah itu, tidak ada produk - produk khas daerah, tidak ada kuliner khas daerah, apalagi kerajinan dan kain khas Harau atau Limapuluh Kota umunya. Padahal bisa dikatakan Kampung Sarosah itu, salah satu penyedot pengunjung terbesar di Lembah Harau," pungkasnya.
Kepada media ini, mereka berharap mendapatkan respon yang jelas dan terukur terhadap persoalan itu.
(frp)