Foto : pribadi |
Ya, Galugua adalah tempat pengangkatan Ayah Dera, kampung yang sangat terpencil hampir mirip rimba belantara, terletak di Kecamatan Kapur IX Limapuluh Kota. Lama Ayah Dera menjawab pertanyaan sang istri, sampai tak mengeluarkan satupun kosa kata, ia bergerak merangkul istri, diceritakannya cerita luka selama di Galugua dengan isak tangis yang tak terbendung!
Orang bijak berkata, dibalik pria hebat ada wanita yang kuat. Ani nama istrinya, ibu dari Dera berusaha sekuat tenaga menguatkan suaminya, "Sabar Da, ini cuma ujian. Untung masih tiga bulan Uda disana, kami alhamdulillah sehat - sehat saja." Tidak perlu Uda risaukan betul, beras dari hasil sawah kita masih bersisa, mari kita mulai dari awal lagi. Gagal berjuang itu biasa, tambah Ibu Dera. Sebuah nasehat pembangkit semangat!
Ayah Dera tersenyum bangga mendengar nasehat istri, suasana rumah kembali mencair. Perlahan diteguknya teh hangat buatan istri tersayang. "Ani, masih sesegar dulu teh buatan kau rupanya," Ayah dera menggombal, mulai keluar kepribadiannya.
Teh tinggal setengah, di luar rumah terlihat perempuan paruh baya, meneteng gundukan kain sarung. Di dalamnya ada ember untuk mengangkut gulai kambing. "Umi rupanya, seru Ani memberi tahu sang suami. Ibu mertuanya yang bernama Ubayani, memang akrab dipanggil Umi, tidak hanya di rumah, orang sekitar juga memanggilnya dengan Umi. Sehingga dagangan gulai kambing yang dijualnya terkenal, Gulai Kambing Umi.
"Lah pulang ang kiro e, baa dek ndak ado bakirim posan salamo ko." Sudah pulang kau rupanya, kenapa tidak ada berkirim pesan selama ini. Begitulah kira - kira Umi Ubayani membuka cerita, sambil meletakkan ember dagangannya, ia duduk di samping putra ke duanya. Kemudian mereka berdua saling cerita.
Cerita diantara mereka berdua, tak jauh berbeda dengan cerita Ayah dan Ibu Dera tadi. Hanya saja Umi Ubayani sedikit emosi, "sia nan lah mapatelean waang? Bia den cancang! Den jadian gulai." Siapa yang sudah memepermainkan kau? Biar Aku cincang! Aku jadikan gulai. Umi ubayani berlanggam...
Ayah Dera hanya tertawa sambil berusah meredam Sang Ibu, "tidak apa - apa Umi, hanya saya saja yang kurang teliti. Saya tidak tahu kondisi Ibu Kota saat ini." Dendam Nenek Dera perlahan redam, Ibu tiri memang tak sekejam Ibu Kota, ujarnya sambil beranjak mengganti baju, yang dari tadi dihinggapi kuah gulai dagangannya.
Meski pulang tak membawa apa - apa, Ayah berkumis itu telah punya cerita sendiri. Sepertinya Dera telah diwarisi sebuah ketabahan hati.
Mobil mewah, harta melimpah
Semua yang indah, tiadalah guna
Pabila yang kuasa, tak beri berkah
Budi bahasa ada di wajah
Jiwa sahaja hanya dalam dada
Janganlah kau gelisah
Kita perkuat daya usaha
Dera kecil adalah gadis manja, sebab dirinya punya pesona. Disaat Ibu dan Neneknya menahan rasa duka, Dera malah tertidur. Memang anak belita demikian adanya. Ia pun tak seharusnya tahu tentang segala derita keluarga, ia memang selayaknya selalu berbahagia. Tidak perlu ditempa dengan keras kehidupan.
Tetapi Dera punya rasa, rasa ke Ibuan yang mengalir lembut. Ia suka bersih, indah dan menata. Rasa ke Ayahan yang keras, bijaksana, sabar, riang gembira, taat, simpati dan peduli. Semuanya berpadu menjadi sebuah nama, Dera Khairunisa. Itu lah nama lengkapnya, sebuah nama yang tegas, nama wanita shaleha. Nama yang punya cerita berbeda.
Dera mulai beranjak kanak - kanak. Tekad keras dari Ayahnya, telah membuatnya bisa mengaji dan membaca saat berumur 5 tahun. Tergolong lebih cepat dari teman sebayanya, Dera memang anak guru agama, Ia mengerti pentingnya membaca. Ini pula yang membuatnya tidak masuk TK, sebuah sekolah yang membuatnya harus tertawa.
Dera langsung masuk sekolah dasar, kala itu tahun 2000. Belum genap umurnya 6 tahun Ia bisa masuk sekolah, walau syaratnya harus berumur 7 tahun, atau tangan menyentuh telinga. Dera mampu bersaing dengan kawan - kawan yang lebih tua. Suatu hal yang diragukan oleh panitia penerima, "kami khawatir Dera tidak bisa mengikuti pembelajaran sekolah, kalau Ia harus tinggal kelas nanti tidak apa - apa ya Buk?"
Ibu Dera mengangguk, pertanda minggu besok Dera harus berseragam putih - merah. Setiap hari Ia melangkah ke sekolah, dengan penuh semangat. "Jangan lupa makan telur separuh matang Nak, Ibu juga telah siapkan segelas air nasi!." Setiap pagi memang akan terdengar suara itu dari rumah Dera. Dera pun mengerti, sebelum pamit dan minta jajan ke sekolah, Ia selalu suka memupuk dirinya dengan masakan Ibu.
Ia memang terbiasa sarapan di rumah, sebab uang jajan dari ibunya tak seberapa. Ibunya paham betul, tak ada gunanya mendidik anak dengan uang. "Dera berangkat ya Bu, Assalamu'alaikum"... Setelah menyalami pipi kanan, kiri dan tangan Ibunya, Dera melangkahkan kaki pergi menuntut ilmu.
Di sekolah, Dera sopan orangnya. Ia tak ragu manggil kakak pada teman kelas yang tua setahun darinya, walau Bu Guru melarang, Ia tak hirau. Baginya kesopanan adalah bawaan lahirnya, hasil asuh ibunya!. Bu Guru mengerti, sambil tersenyum Ia mulai pelajaran hari ini, Bahasa Indonesia. Salah satu pelajaran yang disukai Dera.
Bahasa bagi Dera adalah utama, penting adanya. Ia pun gemar membaca. Oh ya, sepertinya panitia penerima siswa baru itu keliru, Dera mampu bersosialisasi dengan teman - temannya, aktif di kelas dan selalu mengerjakan tugas dengan benar. Hasilnya, catur wulan pertama Ia meraih juara III, sebuah hasil di luar praduga tim seleksi panitia.
Catur wulan berikutnya, terhitung selama tiga bulan, Dera menambah kekuatan tekadnya. Ia semakin giat, ulet, teliti dan rajin membaca, menulis, tak lupa membantu orang tua ketika ada waktu luang. Dera juga rajin belajar ngaji, belajar shalat dan belajar budaya alam Minangkabau, yang mengandung nilai moral serta tata krama. Ia pun berani mengurangi jam bermain, kemudian belajar membuat jadwal kegiatan sehari - sehari.
Sebuah pekerjaan yang tak lumrah dikerjakan anak seusianya, entah dari mana Ia peroleh hal demikian. Entah tekad, entah mukjizat, entahlah. Yang pasti Dera nenjadi anak tunggal selama delapan tahun, selama itu lah Dera belajar mandiri, belajar menjalani hari - hari dengan sendiri berkawan sepi dan belajar menahan rasa iri pada kawannya yang mempunyai saudara, apalagi kakak.
Dera memang ingin sekali punya kakak, dengan adanya kakak pekerjaan rumah lebih terbantu, rasa ingin tahunya jadi bisa ditanyakan langsung tanpa ragu. Sejuta manfaat memiliki kakak melekat kental dalam benak Dera, sejak kecil Ia telah biasa menahan dan memendam keinginannya. Ia paham betul keinginan seperti itu adalah mustahil, tak ada guna untuk direngekkan.
Kawan kecil Dera adalah sepasang kambing tak bernama. Maklumlah kambing itu hadiah, dari famili Ayahnya, Bako istilah Minangnya. Dera hanya menerima, tak menyangka hanya juara III dapat kambing dari Bakonya. Dera bangga, setiap hari Ia kembalakan sepasang kambing jenis kacang, berwarna putih dan kuning kecoklat - coklatan, kambing lokal.
Baca Juga Bagian 1 nya, disini