Siapa saja tak pernah tahu akan kejelasan hidup dan nasibnya, yang terpenting adalah terus menjalani hidup
Novel ini menuliskan tentang perjalanan hidup seorang Dera, dengan berbagai macam pekerjaan dan cerita kehidupan.
Mempertahankan harga diri sama halnya dengan menjaga perintah Tuhan, bahwa masing - masing manusia sudah dijamin rezki baginya. Maka tak perlu menyogok dan menjilat hanya untuk sebuah pekerjaan. Hal inilah yang selalu menjadi pegangan bagi Dera.
Menuju Langit
Dera orangnya tidak suka senang, sebab telah biasa susah. Jika benar dunia ini hanyalah persinggahan saja, maka kesenangan bagi Dera adalah ketika bisa istirahat dengan tenang. Namun, persinggahan tetap saja sebuah persinggahan, tak pernah berubah. dipenuhi hiruk - pikuk berbagai macam persoalan dan gaya bahasa yang berbeda.
Jadi kata istirahat pun mestinya tidak bisa dipakai dalam dunia Dera, karena percuma saja istirahat bila tak tenang, itu sama rasanya dengan dijajah. Hanya penjajah yang mengganggu ketenangan orang yang sedang istirahat, bukan???
Tanpa sebuah alasan logis, Dera meyatakan hidupnya adalah tentang perjuangan. Perjuangan lah yang tidak mengenal kata istirahat, lelah, apalagi bersenang - senang. Perjuangan sifatnya berkelanjutan, tak bisa apabila dilakukan dengan separuh matang. Perjuangan hanyalah suatu cara untuk sebuah perubahan.
***
Detak jarum jam berdentang tiga kali sore itu, menunjukkan hari teramat siang ketika Dera baru terbangun dari tidurnya. Hari itu Minggu, di sebuah dusun kecil dikelilingi bukit dan tebing, Dera sepertinya tadi malam mengalami insomnia. Sebuah insom yang sama - sekali tak berguna, penderitanya sangat susah untuk tidur meski telah berdo'a dengan berbagai cara.
Insomnia memang telah merusak hari - hari Dera beberapa waktu ini, sebutlah kuliah yang terganggu, organisasi dan pergaulan yang telah melenyapkan kepercayaan terhadapnya lantaran tidak konsisten akibat susah ngatur waktu tidur. Dan sepertinya insomnia Dera tidak hanya membuatnya susah tidur, tetapi virus - virusnya telah merasuki rencana masa depan Dera.
Dera tak pernah menyerah, meski pun telah sangat telat untuk bangun tidur, ia langsung bergegas mencari pekerjaan rumah yang masih tersisa untuknya. Ia paham akan kesibukan orang tua dalam mencari nafkah dan belanja tiga orang adik - adik Dera. Darah juang Dera berawal dari rumah tangga.
Keluarga telah meletakkan batu pertama bagi pembangunan mental dan karakter Dera. Keluarga Dera bukan tergolong kaya, bukan pula orang lemah apalagi miskin. Ayah ibunya menikah ditahun 94, tahun ketika ekonomi Indonesia mulai melemah, hingga empat tahun setelah itu tumbang rezim penguasa yang konon terlama di asia, Pak Harto lengser setelah menjabat selama 32 tahun.
Ketika itu lah keluarga muda mengawali hidupnya, ayah Dera adalah seorang guru honorer, sedangkan ibunya adalah buruh jahit. Penghasilan mereka sebenarnya mencukupi untuk belanja rumah tangga sebuah keluarga baru. Selain masih tinggal di rumah mertua, mertua mereka juga seorang penjual gulai kambing dan berbagai aneka sambal lainnya, nenek dera menjajakan dagangannya ke beberapa kampung tetangga. Jadi untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari - hari keluarga muda ini tak pernah kesulitan.
Tetapi itu hanya diawal cerita, realita hidup tak seindah cerita dongeng dan roman karya pujangga. Ayahnya seorang guru honorer, guru agama pula kabarnya, bukan seorang guru kelas. Nasibnya genting, bergantung kepada siapa yang berkuasa. Tergantung politik demokrasi yang baru lahir saat itu, seperti bayi yang masih mengeak - ngeak dan belum teratur. Azas asal bapak senang, jadi gaya tersendiri bagi pejabat pemerintah.
Ayah Dera bukanlah seorang penjilat, apalagi pemain politik kelas kakap. Ia tulus mengabdi, kepada negri dan agamanya. lobi - lobi pejabat bukanlah bidangnya. Untuk menjadi guru agama pegawai negri sipil, ia benar - benar murni mengikuti ujian yang diselenggarakan pemerintah. Al hasil berkat ilmu dan kepiawaiannya, Ayah Dera lulus menjadi seorang PNS, artinya keluarga muda ini tidak lama lagi, akan menapak jenjang rumah tangga berikutnya.
***
Kala itu tahun 1997, Dera berumur tiga tahun. Ayahnya diangkat menjadi pegawai negri sipil, berstatus sebagai guru agama. Ayahnya mengajar di sebuah Sekolah dasar inpres, sekolah yang belum berstatus negeri, untuk ujian harus bergabung dengan sekolah lain. Berjarak ratusan kilometer dari rumah Dera kecil. Ayah muda harus terpisah dari keluarga barunya, demi kebahagiaan rumah tangga.
Ayah Dera selalu tabah dan sabar, tak pernah terlihat atau terdengar kata mengeluh darinya meski harus berjuang sendiri di kampung orang, ia setia menjalani hari - hari baru, sebagai guru pegawai negeri. Tiga bulan telah dilaluinya dengan segenap cerita suka dan duka, namun ada sesuatu yang aneh tentang gaji sang ayah. Telah mengajar selama tiga bulan, namun belum ada kejelasan atau sedikit kabar dari dinas pendidikan, ia seolah terombang ambing. Dilepas ke rimba belantara, disuruh mengajar di pelosok negri orang, tetapi mengenai gaji atau kompensasi, belum ada pemberitahuan.
Ini membuat ayah Dera gelisah, sesekali turut gundah gulanah. Sebab teringat anak yang masih sangat belia, istri yang selalu setia dan ibunya yang selalu menjadi pahlawan, ketika ia sedang berjuang di pelosok orang. Tanpa disadari, bulir air mata mengalir juga di pipi sang ayah, seakan hidup begitu hampa. sebab sudah terpisah dari keluarga, kerja juga tak jelas ujung pangkalnya.
Dengan langkah cepat dan sedikit tergopoh - gopoh, ayah dera berjalan menuju dinas pendidikan. Jarak puluhan kilometer tidak jadi persoalan, baginya dimana terlihat ada kendaraan, disitu Ia bisa menumpang. Itulah sebuah harapan sang ayah, asal sampai di dinas pendidikan dengan cepat. Ia ingin benar menanyakan nasib dan keberadaannya.
***
Berpacu dengan waktu, berkawan lapar serta letih, hanya berbekal yakin dan teguh, sang ayah lalui perjalanan panjang terjal dan berliku. Jangan lupa, jalanan kala itu tak sebuah jalan aspal yang hitam dan mulus, jalannya dipenuhi kerikil, bertautan duri. Jalan tanah, yang juga sewaktu - waktu hujan dapat membasahi sekujur tubuh, meski seorang ayah yang sedang berjuang.
Setelah perjalanan panjang, menahan segala rasa nan patut ditahan, tiba juga Sang Ayah di kantor dinas pendidikan. "Maaf Pak, karena suasana politik Jakarta yang tidak kondusif, pengangkatan guru 3 bulan yang lewat, tidak di sahkan oleh mentri dalam negri." Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ayah Dera kecewa, setengah frustasi. Kalut, pandangannya tengadah mendongak langit, tangannya terkepal lemah. Tuhan, musibah apa ini.
"Masih kah jauh belantara harus ku tembus
Langkah letih tapak kaki mengaus
Terseok. Tertatih dirajam duri
Sekujur tubuh memar dibalut akar - akar"
Ayah Dera berucap lirih. Entah kemana akan dilangkahkan kaki, sepasang kaki yang lelah, tertindih oleh pergolakan zaman, permainan orang - orang Ibu Kota. Waktu berlalu, Kantong celana yang dirogoh nya pelan, hanya mengeluarkan suara deringan uang seratus koin, bewarna kuning 2 buah yang biasanya ia pakai untuk mencabut kumis.
Sadis memang, akibat proses transisi kekuasaan tahun 1997 - 1998 orang biasa sekelas Ayah Dera pun ikut jadi korban. Dengan langkah tertatih, ia paksa melangkahkan kaki untuk pulang, menemui istri, ibu dan anak tercinta Dera. Mobil Mitsubishi Fuso pengangkut kotoran sapi, adalah saksi mati ketabahan hati seorang Ayah, dengan mobil itu Sang Ayah menumpang dari Tanjung Pati menuju Situjuah.
"Ke Situjuah, aku akan pulang
Belok kanan dari Labuh Silang
Musibah apa nan datang
Sedang berjuang, orang membuang."
Ayah Dera melantunkan dendang. Mengaji dan berdendang, memang ayah berkulit sawo matang itu jagonya, ditambah lagi perawakan yang mirip orang India, hari panas berdengkang bisa sejuk dibuatnya.
Jalanan terasa berguncang, karena sang sopir dan dua orang stokarnya mengemudikan mobil sedikit kencang, ditambah lagi dengan jalanan yang penuh lobang. Ayah Dera terpaksa duduk di belakang sebab di depan tidak ada ruang lagi, untung sang sopir masih baik hati. Diatas tumpukan karung goni berisi kotoran sapi, perlahan Ia merasa kepanasan. Ia kembali bergumam ;
"langit biru, angin nan bisu panggilkan aku hujan. Hapus semua kepedihan, lalu hanyutkan dan karamkan ke lautan."
Belum sebait lantunan syair sang ayah berkumandang, terdengar pekikan rem mobil fuso tadi mencekam. Rupanya telah sampai Di Situjuah, Ayah Dera membaca plang, bertuliskan selamat datang. Tetapi, perjalanan harus dilanjutkan sekitar tiga kilometer lagi, sebab rumah nenek Dera, tempat keluarga muda ini menetap, terletak agak dipinggir desa.
"Ke Kubangbungkuak ku pikul semua beban. Ke rumah ibu ku kabarkan segala duka. Ke pangkuan istri kurebahkan segala derita. Kepada Dera, aku bahagia!."
Perjalanan dilanjutkan, tekad dibulatkan, seribu kata telah disiapkan untuk orang rumah biar tak turut berduka...
Di bawah gunung sago, di tepi jalan, di depan halaman, Ayah dera memandang. Rumah yang ditinggalkannya tiga bulan lampau, masih tak berubah, seperti dirinya yang telah sia - sia. Suasana sepi, rindang pohon menambah Asri, ia bertanya dalam hati kemana orang rumah? Apa mereka masih disini? Ataukah telah pindah? Apakah terjadi sesuatu? Kemana orang rumah???
Pertanyaan itu terus memutar di kepalanya, tubuhnya nan lelah tersandar, pasrah pada dinding bata rumah Ibunya.
Tak lama berselang, terdengar gemerisik daun pisang kering. Terdengar pula suara perempuan dengan seorang balita, istrinya dan Dera rupanya. Setengah bahagia Sang ayah bangkit, dipeluknya Sang Anak. Dera telah tumbuh riang gembira, juga sang istri yang selalu setia. Dipeluknya lama, Diusapnya rambut istri dan anaknya, semakin kuat didekapnya. Tetiba air mata kembali berlinang, mengingat kegagalan sebagai seorang Ayah. Dalam menggapai cita - cita, demi keluarganya, demi Dera tercinta...
Suasana semakin hening bercampur pilu, Dera minta dipangku, istri mengajak masuk ke dalam rumah, rumah sederhana ukuran 4x6, tetapi tergolong bagus di kampung itu. Ayah menciumi pipi tembem Dera, balita gemuk itu bahagia. Ibu membuatkan teh, keluarga muda kecil itu kembali bersama. Istri membuka cerita, "Baa kaba Da? Lai sehat ajo salamo di Galugua?" Bagaimana kabar Uda? Apakah sehat selama di Galugua?
***
Ya, Galugua adalah tempat pengangkatan Ayah Dera, kampung yang sangat terpencil hampir mirip rimba belantara, terletak di Kecamatan Kapur IX Limapuluh Kota. Lama Ayah Dera menjawab pertanyaan sang istri, sampai tak mengeluarkan satupun kosa kata, ia bergerak merangkul istri, diceritakannya cerita luka selama di Galugua dengan isak tangis yang tak terbendung!
Orang bijak berkata, dibalik pria hebat ada wanita yang kuat. Ani nama istrinya, ibu dari Dera berusaha sekuat tenaga menguatkan suaminya, "Sabar Da, ini cuma ujian. Untung masih tiga bulan Uda disana, kami alhamdulillah sehat - sehat saja." Tidak perlu Uda risaukan betul, beras dari hasil sawah kita masih bersisa, mari kita mulai dari awal lagi. Gagal berjuang itu biasa, tambah Ibu Dera. Sebuah nasehat pembangkit semangat!
Ayah Dera tersenyum bangga mendengar nasehat istri, suasana rumah kembali mencair. Perlahan diteguknya teh hangat buatan istri tersayang. "Ani, masih sesegar dulu teh buatan kau rupanya," Ayah dera menggombal, mulai keluar kepribadiannya.
Teh tinggal setengah, di luar rumah terlihat perempuan paruh baya, meneteng gundukan kain sarung. Di dalamnya ada ember untuk mengangkut gulai kambing. "Umi rupanya, seru Ani memberi tahu sang suami. Ibu mertuanya yang bernama Ubayani, memang akrab dipanggil Umi, tidak hanya di rumah, orang sekitar juga memanggilnya dengan Umi. Sehingga dagangan gulai kambing yang dijualnya terkenal, Gulai Kambing Umi.
"Lah pulang ang kiro e, baa dek ndak ado bakirim posan salamo ko." Sudah pulang kau rupanya, kenapa tidak ada berkirim pesan selama ini. Begitulah kira - kira Umi Ubayani membuka cerita, sambil meletakkan ember dagangannya, ia duduk di samping putra ke duanya. Kemudian mereka berdua saling cerita.
Cerita diantara mereka berdua, tak jauh berbeda dengan cerita Ayah dan Ibu Dera tadi. Hanya saja Umi Ubayani sedikit emosi, "sia nan lah mapatelean waang? Bia den cancang! Den jadian gulai." Siapa yang sudah memepermainkan kau? Biar Aku cincang! Aku jadikan gulai. Umi ubayani berlanggam...
Bersambung
Penulis :