Penulis : Yogi Buana Putra, Mahasiswa Kampus 3 Universitas Andalas Kabupaten Dharmasraya |
SagoNews ~ Perhelatan dalam pemilihan kepala daerah 2020 telah menanti didepan mata, sebanyak 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang ada di Indonesia akan melaksanakan sebuah proses dari demokrasi yang bertepatan pada tanggal 9 Desember 2020 nanti nya, yang bertujuan untuk mewujudkan jalannya roda pemerintahan di setiap daerah. Babak baru dalam perhelatan pilkada serentak 2020, telah memasuki tahapan pendaftaran pasangan bacalon di setiap kantor komisi pemilihan umum (KPU) masing-masing daerah pada tanggal 4-6 September 2020, dimana para bacalon yang akan tampil dalam kontestasi pemilihan, wajib melengkapi persyaratan agar mampu lolos dari seleksi administrasi yang telah ditetapkan oleh lembaga KPU, partai pengusung, partai pendukung, tim pemenangan, simpatisan, masyarakat, tidak ketinggalan juga mengantar pasangan nya meskipun dalam keadaan pandemi seperti ini.
Rasa nya terlalu dini apabila kita mengupas salah satu konteks yang mampu menciderai sistem demokrasi, namun dengan melihat dinamika perpolitikan pada akhir-akhir ini yang terlalu cepat yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Kira nya pantas untuk kita membahas bagaimana sebuah demokrasi dalam hal ini pemilu, akan selalu dihantui ataupun dibayangi oleh praktik-praktik money politic. Dalam pengertiannya politik uang (money politic) atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
Melihat perkembangan politik uang yang terjadi di Indonesia sudah terbilang cukup lama, menurut penelitian yang dilakukan oleh Warner Mutunghe, seorang ilmuwan Belanda pada tahun 1817. Ketika Thomas Standford Rafles (Gubernur Jendral Hindia Belanda) memberlakukan sistem pemilihan kepala desa tidak lagi diwariskan secara turun temurun melainkan dipilih langsung oleh masyarakat kemudian dalam Staatblad No. 490 juga memuat aturan yang disebut IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonnantie Biutengewsten), yang mengatur regulasi pemerintahan desa yang aturan tersebut mengatur tentang aturan baru yang memuat wewenang pemerintah desa serta aturan terkait dengan susunan organisasi termasuk tata tertib beserta aturan hukum lainnya. Hal yang dilakukan pada saat itu adalah dengan memilih orang kepercayaan dari pemerintah Belanda, untuk memilihnya dengan cara memberikan ketidakseimbangan dalam bentuk uang atau barang. Sejak saat itulah muncul yang nama nya politik uang di Indonesia.
Politik uang (money politic) dalam pemilu ataupun pilkada merupakan sebuah momok yang menakutkan dalam perjalanan demokrasi, yang selalu digunakan sebagai salah satu cara ataupun alat untuk meraih massa serta meraup suara sebanyak-banyaknya, agar dapat memenangkan kontestasi dalam pemilihan. Merefleksikan dari history ataupun perkembangan politik uang yang terjadi di Indonesia, menandakan bahwasa nya politik uang telah menjadi budaya yang selalu mengakar dalam pesta demokrasi. Tidak serta merta sampai disitu saja, politik uang menjadi tren yang akan selalu membanyangi para pemilih ataupun masyarakat.
Dalam praktik politik uang, selalu dikenal dengan sebutan serangan fajar yang dilakukan ketika hari sebelum pencoblosan ataupun masa tenang dalam pemilihan, yang biasa nya terjadi diwaktu dini hari hingga menjelang pagi. Ternyata politik uang tidak selalu diidentikkan dengan pemberian uang ataupun materi saja, namun bisa memberikan barang ataupun dengan menjanjikan sesuatu yang tak tercantum dalam visi dan misi para kandidat calon, yang sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 pasal 73 ayat (1) yang berbunyi “Calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Ditambah, dalam suasana ditengah pandemi membuat perhelatan tersebut bertambah jenis kerawanannya. Tidak hanya rawan dari hal lain selain tahapan pemilu (noneloktoral) karena faktor wabah, tetapi juga secara teknis dan politis. Berdasarkan temuan dari Indeks Kerawanan Pemilihan (IKP) yang dipublikasikan pada Februari dan update IKP setelah wabah yang dirilis Juni 2020. Pada IKP yang dirilis diawal tahapan pilkada, dua isu yang cukup menonjol dalam menyumbang kerawanan pilkada adalah netralitas Aparatur Sipil Negara ( ASN ) dan politik uang (money politic). Sementara pada update IKP, terekam varibal nonelektoral, khusunya wabah covid-19, sebagai pemicu kerawanan pilkada serentak 2020 ini.
Dengan kita melihat atmosfer perekonomian masyarakat pada akhir ini yang sedikit memburuk, dikarenakan penyebaran pandemi covid-19 yang berdampak langsung terhadap masyarakat, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), lowonga kerja yang sedikit sulit, ekomoni yang lesuh serta perputaran keuangan dalam keluarga yang lambat. Dengan pergejolakan yang seperti itu yang sedang dirasakan oleh masyarakat, membuat kita semakin khawatir apabila ada pihak yang tidak bertanggung jawab yang mengambil keuntungan dalam kesempitan, yang memanfaatkan situasi dengan melakukan praktek politik uang dalam pemilihan yang akan tiba.
Pertanyaan nya, bagaimana dampak dari praktek politik uang dalam pemilihan terhadap kehidupan bernegara serta kehidupan bermasyarakat ?
1. Cikal Bakal Lahirnya Korupsi
Apabila kepala daerah yang terpilih menggunakan cara politik uang dalam memenangkan kontestasi pemilihan, maka dengan sendiri nya mereka akan memikirkan bagaimana cara untuk mengembalikan uang/modal yang telah dikeluarkan dalam menyuap ataupun menyogok ketika sewaktu berkampanye. Meminjam pernyataan dari Ema Husain selaku Koordinator Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) menyampaikan bahwasa nya politik uang itu cikal bakal dari korupsi. Dimulai dari politik uang kemudian berubah menjadi suap, lalu jadi sogok, akhirnya suap sogok rata-rata lari nya ke korupsi, bertentangan dengan aturan. Selaras apa yang telah disampaikan oleh Ema Husain, Tito Karnavian selaku Mendagri juga menyampaikan bahwasa nya akar masalah korupsi didaerah dikarnakan kepala daerah berusaha mengembalikan modal yang dikeluarkan saat pilkada langsung.
2. Kurang Fokus Dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Kepala daerah yang terpilih melalui cara politik uang akan mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Mereka tidak pernah merasa berhutang kepada masyarakat yang telah memilih nya, dikarnakan suara yang telah diberikan oleh masyarakat telah mereka beli dengan harga yang telah ditentukan. Lantas jangan pernah berharap apabila masyarakat mengeluh ataupun menyampaikan aspirasi demi meningkatkan kesejahteraan umum, tidak mereka dengarkan dan tidak mereka gubris.
3. Menciptakan Doktrin Yang Buruk Terhadap Politik
Masyarakat akan berpikir, politik hanya untuk orang-orang yang kaya yang berasal dari keluarga kolongmerat, dengan cara yang selalu memberikan uang dalam setiap kontestasi. Dengan pemahaman yang seperti itu, kita merasa khawatir ketika pilihan ataupun suara masyarakat ditentukan oleh harga ataupun uang. Tidak melihat dari visi dan misi namun dilihat dari seberapa komisi yang didapatkan. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam memimpin, namun kurang dalam segi financial?, apakah mereka tidak diberikan kesempatan atau mereka akan terasingkan?.
4. Menghambat Regenerasi Muda Dalam Berpolitik
Apabila politik uang selalu diterapkan dalam pemilihan, maka dengan sendiri nya generasi muda akan bersikap apatis dalam menilai politik. Jikalau pun mereka anak-anak muda ingin berpolitik maka mereka harus memiliki uang yang banyak agar dapat memenangkan kontestasi dalam pemilihan. Jangan sampai politik uang yang terjadi pada hari ini, mengakibatkan langkah pragmatis yang akan di ambil oleh anak-anak muda dimasa depan nanti nya.
Pertanyaan selanjutnya, apa sangsi atau hukuman bagi orang yang melakukan praktik politik uang dalam pemilihan kepala daerah dimata hukum dan negara?
Berlandaskan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 pasal 187A (1) yang berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 ( tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 ( tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 ( satu miliar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaiman dimaksud pada Ayat 1.
Setelah kita mengupas tentang bahaya dari cengkraman politik uang dalam pemilihan kepala daerah, yang mengakibatkan tergerusnya nilai-nilai dari sebuah demokrasi. Pada hakikatnya, jikalau politik uang tetap digunakan dalam pemilihan demi memenangkan kontestasi, maka visi dan misi hanya dijadikan ilusi ketika mereka mengabdi. Terkadang awalnya politik uang memberikan kenikmatan sesaat, namun akhirnya akan membuat melarat. Sudah saat nya praktik politik uang menjadi beban kita bersama, agar kita mampu menjaga amanat negara dan bangsa demi menyongsong kehidupan masyarakat yang sejahtera. Apabila masyarakat bersatu padu dengan KPU, BAWASLU, GAKKUMDU, serta KPK dalam memberantas penyakit politik uang dalam pemilihan, maka tujuan dalam mewujudkan demokrasi akan tercapai, sebagaimana yang telah tertuang dalam cita-cita bangsa Indonesia.