Reido Deskumar |
SagoNews.com - Manyigi merupakan istilah urang awak dulunya dalam menangkap lauak (ikan). Disebut juga manyigi lauak. Orang Minang manyigi lauak menggunakan alat bantu berupa bilah bambu dibuat berbentuk colok (obor). Didalamnya diisikan kain atau serabut kelapa dan dituangkan minyak tanah. Dari sanalah hidup api yang memuculkan cahaya sebagai penerang.
Kegiatan manyigi lauak dilakukan malam hari tidak pernah siang. Banyak istilah yang hadir dalam hal ini. Pertama, malam hari lauak jinak tidak seliar siang hari sehingga sangat memudahkan untuk ditangkap. Kedua, manyigi lauak dengan bantuan cahaya atau penerang dari colok membuat kefokusan dalam menentukan target tangkapan. Ketiga, manyigi lauak malam hari suasananya sepi, bisa berkonsentrasi penuh dan cenderung tidak ada gangguan dari lingkungan sekitar.
Saat ini istilah manyigi lauk menggunakan colok tidak begitu populer dikalangan masyarakat. Mungkin karena zaman berubah musim berganti. Membuat masyarakat beradaptasi dan mengadobsi dengan cepat kemajuan teknologi. Sudah banyak alternative lain yang bisa digunakan. Contohnya lampu LED (Light Emitting Diode). Ramah lingkungan, hemat energi, tingkat penerangan tinggi dan banyak lagi kelebihanya jika dibandingkan dengan colok.
Tak ada salahnya memanfaatkan teknologi demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Seperti kata Steve Jobs, “Mari berubah untuk hari esok, sebagai ganti dari ketakutan kemarin”. Cara tradisional boleh saja tetap dilakukan. Namun ketika ada kesempatan untuk lebih efektif dan efesien kenapa tidak?
Terlepas memudarnya aktivitas manyigi dengan colok, namun konteks dan makna manyigi masih sangat relefan dalam diri orang minang. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), manyigi merupakan kata kerja yang mempunyai arti menyelidiki dengan teliti. Bisa ditafsirkan sebagai upaya menelaah segala sesuatunya dengan teliti dengan memanfaatkan berbagai instrumen lain.
Dalam memilih pemimpin orang minang sangat jeli sekali dalam manyigi. Tidak grasak grusuk, dimana takana disitu maloncek dan tidak asal-asalan. Jelas dulu duduak tagak-nya baru dikeluarkan apa yang diinginkan.
Kontestasi pemilihan gubernur (Pilgub) Sumbar 2020 yang akan dihelat tanggal 9 Desember 2020 tidak akan terlepas dari pe-nyigian orang minang. Alek yang dilaksanaakan setiap lima tahun tersebut menjadi domain yang ditarik menjadi preferensi menentukan pemimpin.
Secara tidak sadar, Pilgub Sumbar sudah menjadi magnet yang menarik masyarakat untuk dijadikan perbincangan. Tidak pandang usia dan tidak pula pandang jabatan. Orang tua, anak muda, pegawai, petani, pedagang, nelayan, tukang ojek, pedagang, buruh dan semua kalangan terlibat dibuatnya.
Tempatnya tidak perlu formal dan berlangsung mengalir saja. Sebelum virus corona menggoroti, lapau adalah tempat paling ideal baciloteh, menumbuhkan narasi dan gagasan. Setiap orang bebas mengemukakan pendapat dan menuangkan pikiran di “parlemen” masyarakat ini. Selalu ada topik yang dibicarakan. Selesai satu topik, esok hari akan bergeser ke topik yang lain.
Meredupnya peran lapau dikarenakan regulasi pembatasan orang berkumpul ditengah pandemi membuat masyarakat bergeser ke lapau digital. Kemajuan teknologi ini sangat termanfaatkan sekali membuat masyarakat lebih leluasa manyigi perkembangan Pilgub 2020 tanpa batasan ruang dan waktu. Banyak lapak diskusi yang dibuka, mulai dari; facebook, twitter, group-group WhatsUp dan Zoom webinar yang menjadi tren di Era Pandemi Covid-19.
Rasionalitas Politik Orang Minang
Menurut Goddin Robert E, rasionalitas adalah suatu proses menggunakan pikiran oleh individu untuk memikirkan, menimbang dan memutuskan sesuatu tindakan politik yang sesuai dengan realitas politik yang berlangsung dan mampu memperkirakan kemanfaatan keputusan yang dibuat dalam jangka pendek ataupun panjang.
Rasionalitas politik sangat erat hubunganya dengan kemampuan seseorang dalam dalam meningkatkan kemanfaatan yang diperoleh dari tindakan politik. Ini berarti ada proses olah pikir yang berdasarkan yang dihadapi dan mampu memerkirakan konsekuensi yang akan diterima.
Pilgub Sumbar secara langsung sudah berjalan tiga kali; tahun 2005, tahun 2010 dan terkahir tahun 2015. Pemenangnya pun bisa dikatakan pure dari tangan masyarakat. Tidak ada unsur indentifkasi kepartaian, kelompok dan ideologi tertentu; partai yang memiliki suara terbanyak. Bahkan unsur geografis pun dengan istilah darek dan pasisia juga tidak berlaku.
Tahun 2005 Gamawan Fauzi dan Marlis Rahman perpaduan sesama urang darek Solok Selatan dan Bukittinggi terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur yang hanya bermodalkan koalisi sederhana PBB dan PDIP. Mereka mengalahkan koalisasi partai besar seperti Golkar, Demokrat, PAN, PKS dan PPP.
Pilgub berikutnya tahun 2010, Marlis Rahman sebagai patahanan yang diusung oleh Golkar tersingkir oleh pasangan penantang Irwan Prayitno dan Musliar Kasim. Diusung koalisi partai PKS, Hanura dan PBR juga mampu mengalahkan Endang Rizal dari partai Demokrat yang memiliki kursi terbanyak di DPRD kala itu. Pilkada terkahir tahun 2015 berlangsung secara head to head. Irwan Prayitno pecah kongsi dengan Musliar Kasim , memilih berpasangan dengan Nasrul Abid koalisi PKS dan Gerindra dengan total 15 Kursi.
Sedangkan Musliar Kasim berpasangan dengan Fauzi Bahar diusung koalisi empat partai; PAN, Nasdem, Hanura, dan PDIP dengan total 23 kursi. Banyaknya dukungan partai dan jumlah kursi yang ada tidak berpengaruh. Untuk kali keduanya Irwan Prayitno yang berpasangan dengan Nasrul Abid keluar sebagai pemenang.
Perjalanan Pilgub Sumbar tiga periode ini memperlihatkan karakteristik lingkungan, geografis serta politik kepartaian tidak mempunyai pengaruh terhadap kecendrungan pemilih. Masyarakat memiliki preferesensi tersendiri dalam menentukan pilihan politiknya. Tidak bisa diintervensi dan dikangkangi. Semua mengalir sesuai dengan apa yang menjadi keyakinan oleh masyarakat itu sendiri.
Disisi lain masyarakat Sumbar masih mengedepankan politik kultural. Dikutip dari Alam R.Ball political culture sebagai susunan sikap, keyakinan, emosi, dan nilai. Nilai- nilai yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
Masih ingat tulisan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tahun 2016 disalah satu surat kabar terbesar di Sumbar yang berjudul Minang dan Jokowi?. Tulisan tersebut sangat viral baik di Sumbar maupun nasional.
Dilatar belakangi salah satu lembaga survey nasional merilis tingkat kepuasan etnis Minang terhadap kinerja Jokowi terendah dibandingkan dengan etnis lain. Iryawan Prayitno dalam tulisan terebut menjelaskan rendahnya tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi dikarenakan ada faktor budaya orang Minang dalam memilih pemimpin. Adapun itu disingkat dengan 3T (takah, tageh dan tokoh). Hal itu terbukti dua kali pilpres berlangsung Jokowi kalah telak di Sumbar.
Tahun 2014, walaupun berpasangan dengan Jusuf Kalla urang sumando Minang, Jokowi hanya memperoleh suara 23,1%. Dan ditahun 2019 merosot lagi dengan suara 14,5%.
Jauh berbeda dengan rival politiknya Prabowo mendapatkan tempat dihati masyarakat SU persentasi suara tertinggi bukan hanya di Sumbar bahkan di nasional. Mungkin kala itu prefensi politik masyarakat Minang menilai saat itu Prabowo lebih tepat menyandang predikat takah, tageh dan tokoh.
Geliat Calon
Sempat meredup dikarenakan pandemi covid-19 dan belum ada kepastiaan dari pemerintah geliat calon di Pilgub Sumbar kembali muncul kepermukaan setelah keluarnya surat edaran Kemendagri.
Kalangan elit melalui parpol mencoba menakar percaturan dengan menempatkan kader terbaik. Tarik menarik koalisi pun terjadi untuk mencocokkan posisi. Partai yang sudah memiliki kursi cukup, tinggal melenggang tidak perlu mencari kawan lagi. Bagi yang belum, disini waktu terkuras meyakinkan kawan agar bisa berkoalisi. Berbeda dengan jalur independen tidak ada beban tiket dari partai, tetapi harus mengumpulkan dukungan minimal 316 ribu KTP.
Munculnya banyak calon dengan memanfaatkan baliho, spanduk di jalan-jalan utama kota sampai ke pelosok daerah sudah lumrah dalam helatan Pilgub Sumbar. Seiring berjalananya waktu, ada yang sekedar test the water dan parami alek diawal dengan baliho bertaburan di jalan, akhirnya balik kanan hilang entah kemana. Ada yang masih bertahan, sudah deklarasi akan tetapi belum jelas pula nasibnya. Kaki sedikit senjang karena jumlah kursi belum genap 20%. Ada yang masih hilir mudik, lobi sana lobi sini karena belum dapat koalisi sepadan. Ada yang sudah jelas duduak tagak-nya tinggal menunggu pendaftaran resmi ke KPU.
Geliat calon menjadi syarat utama ketertarikan pemilih. Maka perlu polesan yang menarik agar calon bisa diterima masyarakat. Bukan hanya mengandalkan banyaknya baliho, spanduk di jalan-jalan. Akan tetapi hadirnya gagasan, komunikasi, dan rasionalitas yang terukur untuk masyarakat.
Masih ada waktu beberapa bulan lagi menyiapkan segala amunisi berlaga di Pilgub nantinya. Masih ada waktu bagi calon menggeliat dan terus menggeliat menghadirkan gagasan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Masyarakat pun, akan terus manyigi setiap calon yang akan berlaga pada Pilgub Sumbar 2020 melalui kanal-kanal lapau digital dan rasionalitas pikiran yang dimiliki. (*)
Penulis : Reido Deskumar
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Andalas