Ketika miss Indonesia asal Sumatra Barat, Kalista Iskandar salah dalam mengucapkan sila ke 4 dan 5 dalam pancasila, maka sudah pasti publik ramai - ramai merundungnya. Ia dijadikan bulan - bulanan netizen, seolah sudah salah besar dan seperti tidak ada bakat lain yang menunjang pilar - pilar dalam pancasila.
Ramai - ramai publik mencari keburukan - keburukan Kalista, diungkit agama dan silsilah keluarganya. Senaif itukah kita sebagai warga Indonesia yang pancasilais? Kalista dengan segala kelebihan dan kekurangan pasti masih layak mendapat tempat terbaik di bawah lambang garuda, karena ia dan keluarga sudah terdaftar sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Tak hanya Kalista, tokoh - tokoh muda lainnya juga banyak yang karakternya dibunuh, sebut saja Faldo Maldini, pemuda asli Pesisir Selatan itu juga sering dibully (dirundung). Pasalnya Faldo telah berpindah partai politik, dari partai yang dicintai masyarakat tempantnya dilahirkan yaitu Provinsi Sumatra Barat, berpindah ke partai yang pemilihnya waktu Pilpres 2019 masih minim.
Faldo dibilang kutu loncat, hanya mencari proyek besar dan takut beroposisi dengan pemerintah. Padahal kita juga sepakat, bahwa memilih dan dipilih adalah hak poregratif politik setiap WNI. Lalu kenapa ketika seorang publik figur sudah tak seperti yang kita inginkan, kita lebih sibuk untuk menghujat.
Apakah budaya hujat - menghujat sudah kita yakini sebagai budaya masyarakat Indonesia? Saya rasa belum, karena masih banyak juga orang - orang yang mengerti dengan Kalista, atau pun jalan hidup seorang Faldo Maldini. Sekarang, daripada kita terus sibuk dengan pribadi orang lain, alangkah mulianya jika kita terus berupaya memperbaiki diri.
Kita sepakat jika masing - masing diri akan dihisab, kita juga sepakat ada Tuhan yang tidak pernah tidur memperhatikan hambanya. Tetapi kita mungkin lupa, jika menghujat orang yang khilaf juga ada dosa. Sebaiknya kita kembali mengaji, menghisab diri dan berlomba - lomba dalam kebaikan.
Budaya jatuh menjatuhkan lawan politik juga tidak baik, jika kita benar - benar layak dipilih maka tak perlu menjatuhkan lawan dengan isu - isu miring, biarkan saja hukum manusia dan hukum Tuhan yang dengan sendiri pasti menghampirinya. Benar kata pepatah, "sepandai - pandai menutup bangkai, pasti baunya akan tercium juga."
Pada kancah politik Sumatra Barat nampaknya black campign antar calon sudah mulai dihembuskan, sebagai publik kita mesti hati - hati menghadapi buzer murahan, karena ia rela mengada - ada demi kepentingan buyer nya. Memang tidak mudah untuk mencari kebenaran isu, tapi di Indonesia fakta hukum adalah fakta yang terpercaya yang bisa kita konsumsi dan disebarkan di warung - warung kopi. Hakim adalah mulut Tuhan dimuka bumi Indonesia.
Banyak tokoh - tokoh muda kita sekarang ini yang sudah terbuang, karena insting politik yang mereka miliki. Seharusnya tagline "biduak lalu kiambang batawik," sebelum penjaringan KPU sudah kita sepakati. Calon - calon kepala daerah yang mungkin, tua atau pun muda janganlah dibuang begitu saja. Sebab mereka juga aset bagi Garuda, Kalista, Faldo dan seluruh WNI adalah anak - anak burung Garuda.
(Fadli Riansyah)